Sunday, February 22, 2009
CLEANING UP
Jam menunjukkan waktu pukul 10.00 WIB. Terdengar suara tape yang memutar kaset lagu anak-anak. Derit kursi, suara gedebuk kaki anak-anak yang berlarian kesana-kemari dan mainan yang beradu satu sama lain. Belum lagi tawa dan pembicaraan para siswa dengan wajah polos nan lucu mereka. Menambah kesan ramai di dalamnya. Sang guru yang seakan sudah hafal jadwal di luar kepala, segera sadar dan tiba-tiba langsung menyanyi. “Kerja...kerja ayo kita kerja, beres...beres ayo beres beres, rapikan mainan bersama-bersama, rapikan mainan sampai bersih”. Bagai sebuah robot serentak semua anak langsung begegas mengambil dan meletakkan kembali mainan yang berserakan dimana-diamana itu ke tempat semula.
Hal itu berlangsung hampir 6 bulan, sehingga menjadi suatu rutinitas. Sampai suatu hari saat untuk merapikan mainanan telah tiba seperti biasa, anak-anak tak mau melakukannya. Sebagian besar dari mereka malah asyik memainkan permainan, tanpa menghiraukan perintah guru. “Oke cleaning up!”, seru bu guru.
Ini biasa terjadi lantaran dua sebab, pertama mereka masih ingin bermain, dan kedua kata-kata atau perintah guru yang sudah mereka dengar hampir setiap hari, mungkin saja membuat mereka bosan. Untuk itu guru perlu membuat variasi dalam mengajak anak untuk mebereskan mainan mereka. Baik itu dalam perbuatan untuk memberi mereka contoh ataupun lagu yang tidak terkesan memerintah. Dalam bentuk perbuatan misalnya dengan menciptakan suasana yang kompetitif seperti, “Ayo kita lomba beres-beres, siapa yang jadi juara satu!”. Atau dengan cara bermain peran, “Bu Guru mau belanja ah, siapa yang mau bantuin bu guru belanja?”, sambil mendorong kereta keranjang dan memasukkan mainan kedalamnya.
Membereskan mainan merupakan suatu pembelanjaran moral yang amat penting ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini. Dengan demikian secara tidak langsung mengajarkan pada anak untuk belajar bertanggung jawab. Setelah menggunakan mainan juga harus mengembalikan pada tempat semula. Pembiasaan ini memang harus dilakukan berulang-ulang agar anak tidak lupa. Selain itu juga harus disertai penjelasan, mengapa kita harus merapikan mainan, dan meletakkan pada tempat semula. Sehingga anak tidak hanya terpusat pada kegiatan pelaksanaannya saja tanpa mengerti maksud dan tujuan dari pelaksanaan kegiatan tersebut. Dan akan lebih baik lagi jika pembiasan ini tidak hanya diterapkan di sekolah saja, tapi juga oleh para orangtua terhadap anak ketika mereka bermain di rumah. Dengan begitu, tercipta pembiasaan baik yang diterapkan pada kedua lingkungan belajar anak. Dan menanamkan pada diri anak untuk bersikap bertanggun- jawab kapanpun dan dimanapun mereka berada.
B A R O N G S A I

Barongsai itu meliuk-liuk seperti ular yang tampak lincah. Dia melompat menaiki tiang kayu yang disusun berjajar dengan ketinggian tertentu. Suara tabuhan dan teriakan orang-orang yang takjub membahana. Mereka yang memainkan barongsai tersebut tak lain adalah kelompok Koh Huan. Sementara itu seorang gadis kecil dengan senyum polosnya hanya memandangi pertunjukan Sang Ayah dari tepi arena. Liem Me Fung namanya, dan biasa dipanggil Me Fung. Me Fung sangat lucu dengan rambut yang selalu dikepang dua itu. Wajahnya manis dan menyenangkan. Sekarang dia duduk di kelas 4 SD.
Tapi pertunjukan yang ramai itu hanya tinggal kenangan. Dua hari yang lalu rumahnya terbakar. Me Fung yang hanya tinggal bersama ayahnya itu pun hidup terlunta-lunta. Ibunya telah tiada ketika tangis Me Fung menyapa dunia. Karena kejadian itu pula dia sudah dua minggu tidak masuk sekolah karena harus membantu sang ayah bekerja. Berdua ayah anak itu sedikit demi sedikit mulai membangun kembali rumah mereka yang roboh terbakar. Jadi untuk sementara waktu dia dan ayahnya tinggal di tenda bersama tetangga sekitar yang bernasib sama.
Sebentar lagi Imlek akan tiba. Biasanya Koh Huan bersama beberapa rekannya selalu mengadakan pertunjukan tari Barongsai untuk memperingatinya. Tapi harapan itu kandas karena perlengkapan dan kostum barongsai juga tak luput dari amukan Si Jago Merah. Kini mereka tak tahu lagi harus bagaimana. Malam itu Koh Huan menghela napas panjang setiap teringat kemalangan yang baru saja menimpa keluarganya.
Siang itu, Anti, Nella dan Rista mengunjungi Me Fung di tenda. Mereka bertiga khawatir karena Me Fung sudah lama tidak masuk sekolah. “Kami sangat merindukanmu, kapan kau akan sekolah lagi?” tanya Anti. “Aku belum tahu teman-teman, sepertinya aku akan berhenti sekolah karena ayahku tak mampu untuk membiayai sekolahku”, jelas Me Fung dengan sedih.
Keesokan harinya saat Bu Ranti, wali kelas 4, menanyakan tentang Me Fung, ketiga sahabatnya menceritakan keadaan Me Fung pada Bu Guru. Setelah termenung Bu Ranti akhirnya memutuskan untuk mengadopsi Me Fung sebagai anak angkat, agar bisa bersekolah lagi, apalagi Bu Ranti juga akan mengusulkan bahwa Me Fung berhak mendapatkan Beasiswa karena dia termasuk murid yang pandai. “Ibu akan membicarakan hal ini dengan ayah Me Fung dan menyampaikan pada Komite Sekolah tentang beasiswa tersebut”, kata Bu Ranti akhirnya. Ketiga sahabat itupun menyambut dengan bahagia.
Sore itu Bu Ranti datang ke rumah Me Fung yang baru saja selesai diperbaiki. “Maaf bu, karena keadaan ekonomi keluarga, Me Fung tidak bisa melanjutkan sekolah”, kata Koh Huan mewakili, putrinya. “Saya datang kemari untuk menyampaikan maksud baik dan membawa kabar gembira untuk anda”, jelas Bu Ranti. “Saya bermaksud mengangkat Me Fung sebagai anak asuh dan membiayai semua keperluan sekolahnya”, lanjut Bu Ranti. “Apakah ibu serius”, tanya Koh Huan tak percaya. Hal itu juga didukung dengan disetujuinya pemberian beasiswa untuk Me Fung.
Malam itu adalah Malam Imlek yang paling berkesan bagi Me Fung. Di balik semua kemalangan yang dia alami, ternyata banyak keberuntungan menghampiri. Apalagi ketika Sang Ayah memberitahu bahwa ada kelompok Tari Barongsai yang mengajak beliau bergabung untuk mempertotonkan tarian Barongsai dalam rangka Imlek. Untuk menyambut Tahun Baru Imlek yang akan tiba, Me Fung dengan dibantu oleh ketiga sahabatnya sedang membuat dan memasang lampion untuk menghias ruangan rumahnya. “Terimakasih teman, tanpa kalian aku tak akan bertemu dengan keberuntungan”, ucap Me Fung dengan mata berkaca-kaca. Keempat sahabat itupun saling berpelukan penuh rasa haru. ‘GONG XI FAT CAI 2560”.
Note: Cernak ini pernah dimuat Harian Kedaulatan Rakyat, 25 Januari 2009. Ilustrasi Kak Jos, Kedaulatan Rakyat.
